Biografi 5 Penulis Terkenal dunia

Madeleine L'Engle

Madeleine lahir pada 29 November 1918 dan menghabiskan masa kanak-kanaknya di New York City. Ia suka menulis cerita, puisi, dan buku harian yang tercermin dalam nilai-nilainya (bukan yang terbaik). Namun, dia tidak berkecil hati. Pada usia 12, ia pindah ke Pegunungan Alpen Prancis dengan orang tuanya dan bersekolah di sebuah sekolah asrama Inggris. Di tempat itu gairah menulisnya terus bertumbuh. Ia berkembang pesat selama tahun-tahun SMA-nya di Amerika Serikat, di SMA Ashley Hall, Charleston, Carolina Selatan.

Setelah itu, ia melanjutkan studinya di Smith College dan belajar bahasa Inggris dengan beberapa dosen yang sangat luar biasa, sembari membaca karya-karya klasik dan terus membuat tulisan kreatifnya sendiri. Dari sekolah tinggi itu, ia lulus dengan pujian dan pindah ke sebuah apartemen Greenwich Village di New York dan bekerja di sebuah teater. Bayaran dari Equity Union (serikat aktor, manajer panggung, dan pekerja seni peran, Red.) dan jadwal yang fleksibel memberinya waktu untuk menulis. Ia menerbitkan dua novel pertamanya yang berjudul "A Small Rain" dan "Ilsa" pada tahun-tahun tersebut, sebelum bertemu Hugh Franklin, calon suaminya, ketika Madeleine menjadi pemain pengganti dalam drama "The Cherry Orchard" karya Anton Chekov, dan kemudian mereka menikah ketika "The Joyous Season" dipentaskan.

Dari pernikahannya itu, ia melahirkan seorang bayi perempuan dan akhirnya pindah ke Connecticut untuk mengurus keluarganya sambil terus menulis. Mereka membeli sebuah toko yang terbengkalai, dan membuatnya aktif kembali selama 9 tahun. Mereka kembali ke kota dengan tiga orang anak, dan Hugh menggiatkan kembali karier akting profesionalnya.

Seiring berlalunya waktu dan bertumbuhnya anak-anak mereka, Madeleine terus menulis, sementara Hugh berakting. Mereka menikmati kehidupan dan satu sama lain. Madeleine mulai bergabung dengan Gereja Katedral St. John the Divine dan menjadi pustakawan, serta mengurus kantor selama lebih dari 30 tahun. Setelah kematian Hugh pada tahun 1986, menulis dan mengajarlah yang membuat Madeleine terus bertahan. Dia hidup melewati abad ke-20 dan masuk ke dalam abad ke-21, serta menulis lebih dari 60 judul buku. Dia menikmati saat-saat bersama teman-teman, anak-anak, cucu-cucu, dan cicit-cicitnya. (t\yudo)


2.Virginia Woolf
Virginia Woolf lahir pada tanggal 25 Januari 1882 dengan nama asli Adeline Virginia Stephen. Ia tumbuh dalam keluarga kelas atas pada akhir era Victorian. Ia merupakan perempuan yang cantik dan anggun. Ayahnya, Leslie Stephen, dan Ibunya Julia, merupakan pasangan yang sudah pernah menikah sebelumnya. Leslie memiliki anak bernama Laura, sementara Julia memunyai Gerard, Stella, dan George Duckworth. Ketika mereka menikah, lahirlah Vanessa, Tobby, Virginia, dan si bungsu Adrian.

Masa kecil Virginia sudah diisi dengan bacaan-bacaan bermutu. Ini berkat bimbingan ayahnya yang memiliki perpustakaan pribadi yang begitu lengkap. Hingga tak jarang penulis-penulis terkemuka waktu itu kerap bertandang ke sana. Leslie Stephen pula yang mengajari Virginia tentang cara membaca untuk pemahaman yang mendalam. Inilah yang nantinya membuat Virginia dapat berpikir sangat kritis dan memiliki kemampuan seni menulis di atas rata-rata. Namun kisah tentang Virginia kerap ditulis dengan bahasa yang kelam. Mungkin karena kisah hidupnya sendiri sangatlah muram. Pada tahun 1895, Virginia melakukan usaha bunuh diri pertamanya -- mencoba melompat dari jendela, tak lama setelah ibunya meninggal.

Selama 1905-1912, Virginia tinggal berpindah-pindah di kawasan Bloomsbury, London. Ia wanita terpandang dan seorang yang jenius. Di sini ia bertemu dengan Leonard Woolf, yang kemudian menikahinya pada tahun 1912. Leonard merupakan pria yang dapat memahami kepekaan perasaan Virginia dan hasratnya yang tinggi untuk berkarya. Virginia aktif menulis kritik anonim di Times Literary Supplements. Ia juga produktif menulis novel The Years, Voyage Out, Night and Day, Mrs Dalloway dan The Waves. Bahkan bersama suaminya, ia mendirikan penerbitan Hogarth Press.

Tokoh-tokoh wanita dalam novelnya kerap memiliki hubungan emosional sesama wanita seperti Rachel dan Helen dalam "The Voyage Out", Katharine dan Mary dalam "Night and Day", Sally dan Clarisa dalam "Mrs. Dalloway", Lily dan Mrs. Ramsay dalam "To The Light House". Hal ini membuat banyak spekulasi bahwa Virginia memiliki kecenderungan menyukai sesama jenis. Tapi sebenarnya itu merupakan manifestasi dari penderitaan psikologisnya mengarungi bahtera perkawinan dan masa kecilnya yang kelam. Sampai ketika tahun 1936, Virginia kembali mencoba membunuh diri.

Virginia Woolf pernah menulis, novel-novelnya sesungguhnya adalah persiapan kepada sastra sejati. Novel adalah kulit luar yang harus dikelupas. Hanya otobiografi yang sejatinya sastra. Itulah sebabnya, untuk mengetahui hal-hal tersembunyi, banyak penulis biografinya membaca ulang surat-surat serta catatan pribadinya, terutama Sketch of the Past, Otobiografi yang ditulis Virginia pada april 1939. Di situlah dia mengingat perasaan-perasaan masa kecilnya. Membeberkan sejarah keluarganya dari perspektifnya sendiri, termasuk sedikit hal-hal gelap yang sangat tabu di era Victorian.

Virginia adalah pengagum Freud. Di tahun 1939, ia pernah bertemu dengan Freud yang telah renta. Ia sepakat akan analisis Freud tentang mimpi, halusinasi, tapi tak setuju bahwa seseorang harus diserahkan untuk dianalisis. Virginia berontak diposisikan sebagai pasien. Ia menjadi dokter bagi dirinya, menganalisis kecemasan-kecemasan dirinya sendiri melalui novel dan otobiografinya.

Mengarungi dunia Virginia adalah menyelami sebuah sungai tanpa muara. Dalam lingkungan Bloomsbury, ia dikenal sebagai seorang perempuan cerdas, tangkas, hangat, pendengar yang baik. Seseorang yang juga tampil anggun, menawan di depan umum. Tapi, saat diserang, ia bisa berbalik seratus delapan puluh derajat. Sampai saat ini sosok Virginia masih dianggap penuh misteri, dan terus dicoba untuk dikuak dan dibeberkan. Namun karya-karyanya hingga saat ini terus dibaca banyak orang, bahkan ditelaah sebagai karya-karya dengan nilai sastra yang sangat tinggi.

3.C. S. Lewis
Clive Staples Lewis (1898 - 1963) adalah mahasiswa cerdas, penulis yang dikagumi, kritikus sastra, dan apologet Kristen. Dia dihormati terutama atas kontribusinya dalam kritik sastra, apologetika, dan kesusastraan anak dan fantasi.

Dari tiga puluh lebih buku dan sejumlah banyak esainya (sebagian besar karyanya itu tetap dicetak setelah kematiannya), karyanya yang paling dikenal adalah "The Chronicles of Narnia", "Mere Christianity", dan "The Screwtape Letters". Seri "The Chronicles of Narnia" sangat populer dan telah diadaptasi ke beberapa drama, sandiwara radio, dan film bioskop. Baru-baru ini, majalah "Time" mencatat buku pertama dalam seri itu, "The Lion, The Witch, and the Wardrobe", sebagai salah satu dari 100 novel terbaik berbahasa Inggris yang ditulis antara 1923 dan 2005. Karya Lewis telah diterjemahkan ke lebih dari tiga puluh bahasa dan telah terjual jutaan kopi di seluruh dunia.

Siapakah C.S. Lewis?

C.S. Lewis lahir pada 29 November 1898 di Belfast, Irlandia Utara. Saudara kandung satu-satunya adalah kakaknya, Warren Hamilton Lewis (1895-1973), yang selalu akrab dengannya di sepanjang hidupnya. Ibunya meninggal akibat kanker ketika Lewis berumur 9 tahun.

Setelah menerima beasiswa ke University College, Oxford University di Inggris pada 1916, Lewis segera menunda kuliahnya pada tahun 1917 untuk masuk Angkatan Darat Inggris selama Perang Dunia I. Karena terluka saat Pertempuran Arras, dia dibebastugaskan pada akhir 1919.

Segera sesudah itu, Lewis melanjutkan kuliahnya di Oxford, lalu dia menjadi Anggota dan Pengajar Sastra Inggris di Magdalen College, Oxford. Dia melayani di sana dari 1925 sampai dengan 1954, ketika dia ditunjuk sebagai Ketua Jurusan Sastra Abad Pertengahan dan Renaisans di Magdalene College, Cambridge.

Pada 1930, Lewis dan kakaknya, Warren, pindah ke daerah yang menjadi rumah abadinya, "The Kilns", yang terletak tepat di luar Oxford.

Pada 1931, karena terpengaruh oleh persahabatannya yang erat dengan J.R.R. Tolkien dan tulisan-tulisan G.K. Chesterton, Lewis bertobat menjadi orang Kristen dan menjadi anggota Church of England. Pertobatannya mengubah karya dan tulisan-tulisannya. Selama Perang Dunia II, siaran radionya di BBC tentang kekristenan menjelaskan iman kepada ribuan orang dan akhirnya memberi Lewis pengakuan internasional. Dia dikenal luas sebagai salah satu penulis Kristen paling berpengaruh pada abad ke-20.

Selama di Oxford, Lewis, Tolkien, dan sekelompok kecil teman penulisnya sering bertemu untuk menceritakan perkembangan karya kreatif mereka. Anggota-anggota dari kelompok penulis yang sekarang terkenal ini, "Inklings", telah menghasilkan beberapa karya fiksi dan prosa yang sangat disukai pada abad ke-20.

Pada masa tuanya, pada tahun 1956, Lewis menikahi Joy Davidman Gresham, seorang penulis Amerika. Setelah empat tahun berjuang melawan kanker tulang, istrinya meninggal pada 1960. Sesudah peristiwa itu, Lewis terus merawat kedua putra mereka, Douglas dan David Gresham. Dalam bukunya, "A Grief Observed", Lewis mengungkapkan penderitaan mendalam atas kematian istrinya. Buku ini, yang kemudian mengilhami drama panggung dan film bioskop peraih penghargaan, "Shadowlands", telah menjadi sumber penghiburan bagi banyak orang yang mengalami kesedihan.

Satu minggu sebelum ulang tahunnya yang ke-65, Jumat, 23 November 1963, Lewis meninggal di "The Kilns" -- pada hari yang sama ketika Presiden AS, J.F. Kennedy, dibunuh dan Aldous Huxley [penulis Inggris-Red.] wafat. Dia dimakamkan di halaman Holy Trinity Church di Headington Quarry, Oxford, tak jauh dari rumah kesayangannya.

4.Bang Mula Harahap
Dirangkum oleh: Truly Almendo Pasaribu

Tidak susah menggambarkan ciri-ciri fisik tokoh perbukuan Indonesia ini. Perawakannya tinggi, wajahnya berewokan, rambutnya gondrong, dan beruban. Dari logatnya, Anda bisa langsung menebak asal sukunya, Batak. Banyak orang mengenalnya sebagai pejuang dunia perbukuan, tetapi sebenarnya Bang Mula Harahap adalah seorang penulis, editor, penerjemah, sekaligus pemerhati budaya.

Sejak kecil, Bang Mula, yang bernama lengkap Armyn Mulauli Harahap, sudah terpesona dengan bermacam-macam buku bacaan. Betapa beruntungnya dia bisa mewujudkan kecintaannya ini dalam dunia karier. Dia mulai menulis cerita-cerita untuk majalah anak-anak "Kawanku". Kemudian selama 13 tahun, dia menjadi editor penerbit buku BPK Gunung Mulia. Minatnya terhadap dunia perbukuan mendorongnya untuk mendirikan penerbitan buku yaitu "Komindo Mitra Utama". Bang Mula memahami seluk-beluk distribusi perbukuan. Buku referensi, ilmu pengetahuan, dan sastra merupakan santapan harian Mula Harahap.Dari tahun 1988 sampai 2006, Mula Harahap aktif menjadi Sekretaris Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI). Saat bertugas menjadi sekretaris IKAPI, gagasannya mendapat perhatian dari para pencinta buku. Salah satunya, Mula Harahap mengkritik ide para penggagas Undang-Undang perbukuan demi kepentingan penerbit. Baginya, undang-undang tersebut hanyalah upaya orang-orang yang tidak memahami dunia penerbitan buku. Menurutnya, peraturan itu membuat dunia penerbitan lesu karena pemerintah ikut campur dalam proyek mereka. Undang-Undang ini juga menyebabkan bubarnya Perhimpunan Masyarakat Gemar Membaca (PMGM).

Setelah masa jabatannya sebagai sekretaris IKAPI berakhir, Mula Harahap tetap terlibat dalam IKAPI. Dia masih memberi perhatiannya kepada Yayasan Adi Karya, yayasan di bawah naungan IKAPI yang memberikan penghargaan kepada buku-buku terbaik. Dia juga terlibat aktif sebagai pengurus YOKOMA, sebuah organisasi di bawah naungan Persatuan Gereja Indonesia (PGI).

Saat bekerja di Gunung Mulia, Mula Harahap menemukan tulang rusuk kariernya atau belahan jiwanya, seorang gadis berdarah Ambon marga Tahapary, yang di kemudian hari melahirkan dua orang anak. Di mata anaknya, Riri Harahap, penulis berambut sebahu itu mendidik dengan cara yang cukup unik dan berbeda dibandingkan orang tua lain. Semasa bersekolah dia tidak pernah dituntut mendapat nilai yang bagus. Riri telah memberinya seorang cucu. Dengan demikian, dalam budaya Batak, Mula Harahap adalah opung yang dihormati dan dianggap sepuh. Akan tetapi, dia lebih memilih dipanggil abang yang mencerminkan semangatnya untuk menulis.

Walaupun telah lama tinggal di pulau Jawa, Bang Mula masih tekun memerhatikan budaya aslinya. Dia sangat prihatin melihat perkembangan sastra Batak saat ini. Menurutnya, bahasa Batak akan hilang. "Bahasa itu seperti hutan tropis, setiap tahun akan ada yang hilang," katanya menganalisis dengan serius. Di samping menerbitkan umpasa (perumpamaan) Batak, diperlukan juga sastra Batak yang bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman, katanya lebih lanjut.

Saat menghadiri undangan acara Taman Bacaan Masyarakat di Solo pada tahun 2010, Bang Mula sudah terlihat sakit-sakitan. Akan tetapi, banyak orang yang tidak menyangka Bang Mula dipanggil ke rumah Bapa pada tanggal 16 September 2010, karena komplikasi maag dan darah tinggi. Dunia penerbitan kehilangan seorang tokoh yang dapat dikatakan sebagai "guru" bagi para penerbit. Salah satu pejuang perbukuan Indonesia itu kini telah menemukan ujung dari perjalanan hidupnya. Semoga warisan semangat juangnya tetap tinggal di hati para pencinta buku dan penulis di Indonesia.

4.T. S. Eliot
Thomas Stearn Eliot adalah penulis Amerika-Inggris yang sangat berpengaruh pada abad 20. Dia adalah salah satu penyair, kritikus, penulis naskah, editor, dan penerbit yang terkemuka. Puisi yang paling terkenal "The Waste Land", merupakan karyanya yang mencerminkan kegelisahan dunia modern.

Saat bekerja sebagai juru tulis di sebuah bank, dia menulis koleksi puisi pertamanya, "Prufrock and Other Observations" (1917). Dalam koleksi itu, terdapat salah satu puisi yang cukup terkenal "The Love Song of J. Alfred Prufrock". Kemudian, "The Waste Land" (1922), "Ash Wednesday" (1930), and "Four Quartets" (1943) mengikuti kesuksesan karya pertamanya. Tidak hanya itu, dia juga menjadi pendiri dan editor majalah sastra, Criterion. Dia menulis drama "Murder in Cathedral" (1935) dan "The Cocktail Party" (1949). Tidak hanya itu, dia juga menuliskan syair untuk anak-anak "Old Possum"s Book of Practical Cats" (1939). Bagaimanakah latar belakang kehidupan penulis ini?Thomas Stearns Eliot, lahir pada tanggal 26 September 1888, di St. Louis. Eliot tumbuh dalam keluarga bangsawan yang aktif terlibat dalam kegiatan keagamaan, komunitas, dan pendidikan. Masa kecilnya memberikan kesan mendalam bagi Eliot, sehingga kenangan-kenangan ini tercermin dalam karya-karyanya, terutama dalam "Four Quartets".

Pada tahun 1898, Eliot mempelajari bahasa Latin, Yunani Kuno, Perancis, dan Jerman di Smith Academy. Dia mulai menulis puisi ketika berumur 14 tahun. Akan tetapi, dia menghancurkan karya-karyanya itu, karena menurutnya puisi-puisinya terdengar muram dan putus asa. Puisi pertamanya "A Fable For Feaster," ditulis untuk tugas sekolah ketika dia masih berumur 15 tahun, dan dipublikasikan di Smith Academy Record dan kemudian di Harvad Advocate, majalah universitas Harvard.

Setelah lulus, Eliot mengenyam pendidikan di Milton Academy, Massachusetts. Kemudian, dia mempelajari filsafat di Harvard dari tahun 1906 sampai tahun 1909, dan mendapatkan gelarnya dalam kurun waktu tiga tahun. Setelah bekerja sebagai asisten dosen filsafat di Harvard dari tahun 1909-1910, Eliot pindah ke Paris dan mempelajari filsafat di Sorbonne. Saat pecah Perang Dunia pertama, dia pergi ke Oxford.

Di Inggris, dia mencicipi beragam pekerjaan. Setelah ditugaskan untuk mengajar sejarah, Latin, Perancis, Jerman, aritmatika, melukis, dan renang di sekolah-sekolah Inggris, dia menjadi banker di Lloyds of London. Lalu, dia menjadi editor di Faber dan Faber.

Pada tahun 1914, Eliot berkenalan dengan Vivienne Haigh-Wood, pengajar di Cambridge. Pada tanggal 26 Juni 1915 mereka menikah di Hampstead Register Office. Pernikahan pertama Eliot adalah sebuah bencana. Istrinya menderita gangguan saraf dan dirawat di rumah sakit jiwa selama bertahun-tahun. Pada tahun 1947 istri pertamanya meninggal. Dia hidup di apartemennya bersama John Hayward, penulis yang hampir lumpuh total, sampai akhirnya dia menemukan pendamping baru dan menikah pada tahun 1957.

Tahun 1927 merupakan tahun perubahan yang besar bagi Eliot. Dia berpaling kepada Allah dan dibaptis di Gereja Inggris. Pada tahun yang sama, dia juga melepaskan kewarganegaraan Amerikanya dan menjadi warga negara Inggris. Imannya tercermin dalam karya "Ash Wednesday" pada tahun 1930. Puisi ini menggambarkan betapa sulitnya mencari kebenaran, serta mendeskripsikan penemuan iman yang akan bertahan selamanya. Walaupun dikritik keras oleh para penulis lain karena pertobatannya, dia tetap giat mengekspresikan iman dalam puisi-puisinya.

Eliot percaya bahwa pencapaian terbaiknya adalah puisi rohani "Four quartets" (1943) yang cukup panjang. Puisi ini berhubungan dengan tema inkarnasi, kekekalan, kerohanian, dan pewahyuan. Dalam "The Idea of a Christian Society" (1939) serta karya-karya lainnya, Eliot berpendapat bahwa upaya humanis untuk membentuk peradaban rasional yang non-Kristen akan hancur. "Percobaan itu akan gagal, tetapi kita harus banyak bersabar dan menunggu keruntuhannya," ujar Eliot, "Sementara itu, pulihkan waktu: sehingga iman dapat tetap dijaga selama berabad-abad kegelapan di depan kita, agar kita bisa memperbarui dan membangun kembali peradaban dan menyelamatkan dunia dari kehancuran."

Dia tidak menyetujui pandangan bahwa masyarakat harus dikuasai oleh gereja. Menurutnya, masyarakat harus dikuasai oleh prinsip-prinsip Kristen saja, dan orang-orang Kristen perlu memunyai "kesadaran pikiran dan hati nurani untuk bangsa."

Eliot kemudian beralih menulis drama pada tahun 1930 dan 1940, karena dia percaya bahwa drama memikat orang-orang yang mencari spiritualitas. Pada tahun 1935, dia mementaskan pertunjukan pertamanya "Murder in the Cathedral", drama berdasarkan kisah martir Thomas Becket. Dalam drama ini, Eliot berulang-ulang menggemakan bahwa iman dapat hidup hanya jika para pengikut setia siap mati untuknya. Drama ini disusul dengan drama "The Family Reunion" (1939) dan "The Cocktail Party" (1949), sukses terbesar teaternya. Dalam drama-dramanya, dia berhasil menangani tema-tema moral dan religius yang rumit, serta menghibur penontonnya dengan alur yang jenaka dan satir sosial yang tajam.

Eliot meninggal karena kesehatannya yang memburuk pada tanggal 4 Januari 1965. Dia dikremasikan di Golders Green Crematorium. Sesuai dengan permintaan Eliot, abunya dibawa ke St. Michael"s Church di East Coker, desa tempat emigrasi nenek moyangnya.

5.Charles Wesley, Penulis Himne Terhebat Sepanjang Masa
ia menciptakan kira-kira 10 baris kata-kata yang puitis dalam sehari selama 50 tahun. Dia menulis 8.989 himne, sepuluh kali lebih banyak daripada jumlah yang diciptakan oleh satu-satunya kandidat penulis himne terbesar lainnya di dunia, Isacc Watts. Dia mengarang beberapa himne gereja yang paling mengesankan dan abadi di dunia, [bahkan beberapa himnenya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Red.] seperti:
"Hark! The Herald Angels Sing"
"And Can It Be"
"O for a Thousand Tongues to Sing"
"Love Divine, All Loves Excelling"
"Jesus, Lover of My Soul"
"Christ the Lord Is Risen Today"
"Soldiers of Christ, Arise"
"Rejoice! the Lord Is King!"

Akan tetapi, tokoh ini sering kali disebut "Wesley yang terlupakan".

Saudaranya, John, diakui sebagai organisatoris genius di balik munculnya gerakan Metodis. Akan tetapi, tanpa himne Charles, gerakan Metodis mungkin tidak akan tersebar luas. Seperti yang dikatakan oleh seorang sejarawan, "Para pengikut Metodis mula-mula diajar dan dibimbing melalui himne-himne Charles, seperti khotbah dan pamflet John Wesley."

Mahasiswa Ilmu Bahasa

Charles Wesley adalah anak kedelapan belas dari sembilan belas bersaudara, dari pasangan Samuel dan Susannah Wesley (hanya sepuluh yang hidup sampai dewasa). Dia lahir prematur pada bulan Desember 1707 dan terlihat sudah mati. Dia terbaring diam, dibungkus dengan selimut selama berminggu-minggu.

Saat dewasa, setiap hari selama 6 jam, Charles dan saudara-saudaranya diajari secara Metodis oleh ibunya, Susannah, yang memahami bahasa Yunani, Latin, dan Prancis. Kemudian, Charles menghabiskan waktu 13 tahun di Westminster School. Di sana, satu-satunya bahasa yang boleh digunakan adalah bahasa Latin. Dia menambah masa studinya selama 9 tahun di Oxford, tempat dia memperoleh gelar magisternya. Kabarnya, dia bisa menarasikan karya penyair Latin, Virgil, dalam waktu setengah jam.

Setelah lulus dari Universitas Oxford, Charles membentuk "Holy Club" untuk mendobrak kerohanian yang suam-suam kuku di sekolah itu. Bersama dengan 2 atau 3 orang lainnya, dia mengadakan komuni setiap minggu dan mempelajari aturan studi rohani yang ketat. Karena cara hidup kelompok tersebut yang religius -- mengadakan renungan pagi, pendalaman Alkitab, dan pelayanan di penjara, maka anggota-anggotanya disebut orang-orang "Metodis".

Pada tahun 1735, Charles bergabung dengan John untuk menjadi utusan Injil di daerah koloni Georgia -- John sebagai pendeta perintis dan Charles sebagai sekretaris Gubenur Oglethrope. Pada saat ini, keduanya telah ditahbiskan menjadi pendeta. Meskipun ditembaki, difitnah, terjangkit penyakit, bahkan dijauhi oleh Oglethorpe, Charles mampu membahanakan sentimen John saat mereka kembali ke Inggris dengan kekesalan pada tahun berikutnya. Charles Wesley bergumul, "Saya pergi ke Amerika untuk membuat orang-orang Indian bertobat, tetapi, oh, siapa yang akan menobatkan saya?"

Setelah kembali ke Inggris, Charles mengajarkan bahasa Inggris kepada Moravian Peter Bohler, yang mendesak Charles untuk melihat keadaan jiwanya secara lebih mendalam. Pada bulan Mei 1738, saat sedang sakit, Charles mulai membaca buku karya Martin Luther tentang kitab Galatia. Dia menulis dalam buku hariannya, "Aku bekerja, menunggu, dan berdoa untuk merasakan "[Dia] yang sudah mengasihiku, dan menyerahkan diri-Nya untukku."" Tidak lama kemudian dia percaya dan menulis di jurnalnya, "Kini aku sudah berdamai dengan Allah dan bersukacita dengan pengharapan di dalam Kristus yang penuh kasih." Dua hari kemudian, dia mulai menulis sebuah himne untuk merayakan pertobatannya.

Pengkhotbah Injili

Atas anjuran penginjil George Whitefield, John dan Charles akhirnya memutuskan untuk "lebih berani" melakukan sesuatu yang tak terpikirkan: berkhotbah di luar gedung gereja. Dalam catatan jurnalnya dari tahun 1739-1743, Charles menghitung jumlah orang yang telah diinjilinya. Dari jumlah yang disebutkannya, total keseluruhannya hampir mencapai 149.400 orang selama 5 tahun.

Dari tanggal 24 Juni sampai 8 Juli 1738, Charles dikabarkan dua kali berkhotbah kepada 10.000 orang di Moorfields, yang dulunya -- pada abad ke-18 disebut "Pulau Kelinci." Selain itu, dia berkhotbah di hadapan 20.000 orang di Kennington Common dan memberikan khotbah tentang pembenaran di depan Universitas Oxford.

Dalam perjalanannya ke Wales pada tahun 1747, penginjil berjiwa petualang yang berumur 40 tahun ini bertemu dengan Sally Gwynne yang berumur 20 tahun, yang kemudian dinikahinya. Secara umum, pernikahan mereka adalah pernikahan yang bahagia.

Charles terus berkeliling dan berkhotbah. Terkadang dia juga bersitegang dengan John, yang mengeluh, "Bahkan aku tidak tahu kapan dan ke mana kamu [Charles] ingin pergi." Tahun 1756 adalah tahun perjalanan terakhirnya mengelilingi negara-negara. Setelah itu, kesehatannya membuatnya perlahan-lahan menarik diri dari pelayanan kelilingnya. Dia menghabiskan sisa hidupnya di Bristol dan London, serta berkhotbah di kapel Metodis.

Obsesi yang Menakjubkan

Sepanjang hidupnya, Charles menuliskan bait-bait himne yang sebagian besar digunakan dalam ibadah Metodis. Dia menciptakan 56 volume himne dalam waktu 53 tahun, menciptakan lirik-lirik yang disebut John sebagai, "penjelasan kekristenan alkitabiah yang istimewa dan lengkap".

Orang-orang Metodis pun menjadi dikenal orang (kadang dicela) karena semangat mereka dalam menyanyikan himne-himne Charles. Pengamat kontemporer menuliskan, "Lagu orang-orang Metodis adalah lagu terindah yang pernah saya dengar.... Mereka bernyanyi dengan baik, dengan penghayatan, pikiran yang tenang, dan memukau."

Banyak orang segera mengagumi Charles Wesley karena kemampuannya menangkap pengalaman universal kekristenan dalam bait-bait indahnya. Pada abad berikutnya, Henry Ward Beecher menyatakan, "Aku lebih suka menulis himne Wesley "Jesus, Lover of My Soul" daripada mendapat kemasyuran raja-raja yang pernah berkuasa di bumi." Penyusun "Dictionary of Hymnology", John Julian, menyimpulkan "Mungkin, dilihat dari kuantitas dan kualitasnya, Charles Wesley adalah penulis himne terbesar sepanjang masa."

0 komentar on Biografi 5 Penulis Terkenal dunia :

Posting Komentar

Close .: Baca Juga Yang Ini :.